Sabtu, 27 Desember 2014

Shinta Naomi


Kapten Tim KIII -Puisi Indah yang Bergerak

Minggu, 28 Juni 2009

Cerita

Cerita-Tentang-Pangeran-Tidur-Dan-Putri-Malam


Dalam detik yang tak terkata tentang banyaknya, dalam benak hati yang menyimpan hasrat rindu, dimanakah kamu, masihkah engkau mengingatku?


Malam telah datang bersama awan mendung yang tipis. Ah, mungkin aku salah melihat, itu bukanlah langit malam dunia, itu hamparan langit yang selalu mendung seiring kamu yang tak lagi kulihat senyumnya. Aku yang selalu memandangmu dari dekat, dari kejauhan, dan dari balik sekat tipis yang mirip kelambu. Ah bukan, ini hanya kumpulan jaring laba-laba yang telah lama mengitari pintu itu.


Malam makin pekat, dan benar langit semesta hari ini sangatlah terang, kulihat di sebelah barat ada potongan bulan sabit yang masih redup, dan di sisi lainnya kulihat kumpulan bintang yang masih saja setia untuk berglantungan. Scropio, laying-layang dan beberapa rasi lainnya. Langit malam ini memang indah dan membuatku terpukau, dan tanpa sadar membuatku lupa jika sesaat tadi aku baru saja berfikir tentangmu.


Namun tak selamanya yang indah itu bisa kunikmati dengan kekaguman yang lengkap, karena sesaat kemudian tanpa sadar jika kamu telah kembali dalam ingatanku dan lebih kasarnya lagi diantara bintang-bintang itu ada sebuah potongan kecil cahaya yang kuartikan dengan “kamu”. Sejauh itukah harapku padamu, jauh sekali dimana langkahku tak mungkin mampu mencapaimu, walau kurasa kamu masih ada di galaksi Bima Sakti, namun hatiku merasa jika kamu ada di Andromeda. Jauh walau tak sejauh masa lalu yang takan terulang itu.


Akhirnya aku pergi, meninggalkan pemandangan yang menurut beberapa orang sangatlah indah itu. Aku melangkah menuju peraduan yang telah terhampar jelas. Aku ingin tidur dan melupakan semua yang kulihat ataupun yang kudengar tentangmu hari ini. Mungkin aku berharap mimpi datangkan engkau sekali lagi, karena dalam yang “tak ada” itu kurasa aku bisa mengerti tentangmu. Dan semua hal yang ada padamu tiap jengkalnya ada untuk kuhasrati dalam puisi yang lebih berjiwa, karena dalam mimpi kamu ada, kamu ada di cintaku yang terbatas dalam berharap.


Namun sayang kantuk itu tak jua datang, kamu tetap menjadi angan yang rasanya menggantung di atas ubin kamarku. Kamu tak juga bisa terhadir dalam mimpi karena sebuah kantuk yang belumlah datang. Sesekali ku coba bernyanyi untuk memanggil kantuk yang entah sedang bermain di rumah siapa, nina bobo yang indah, namun lagu siapa yang ingin kunyanyikan, apakah bernyanyi tentang lagu Bertepuk Sebelah Tangan? Rasanya tidak, hari ini aku tak ingin mengingat betapa bodohnya aku karena pengharapan padamu itu. hari ini aku hanya ingin bernyanyi “cinta bukan hanya sekedar kata, cinta bukan hanya pertautan hati, cinta bukan hasrat luapan jiwa, cinta tak hanya diam”.


Oh Putri Malamku yang entah dimana, dalam yang terbatas ini aku berharap padamu dan sangat berharap. Adakah cinta ini bisa engkau rasakan pula, jika apa yang bisa kulakukan hanyalah diam?

Angel

“Malaikat”

Date: 00:37 WIB; 27 June 2009


Makhluk ini di ceritakan memiliki sayap, entah berapa banyak namun dari apa yang aku ketahui makhluk ini memiliki empat pasang sayap, entah dimana saja sayapnya itu menjulang. Dan yang pasti mungkin sedikit berbeda dari gambaran manusia yang memang belum pernah sekalipun melihat Malaikat. Makhluk ini yang di ciptakan dari cahaya dan mungkin sangat menyilaukan saat menatapnya, dan mungkin lebih menyilaukan dari Matahari. Mungkin.


Tapi malam ini aku tak sedang bercerita tentang Makhluk ini, karena aku memang sedikit sekali mengetahui nama-nama Malaikat yang Wajib ku Imani, terlebih lagi tugas mereka yang entah apa saja. Yang akan kuceritakan hanya tentang seseorang yang mungkin sedang “sesat” jalan, karena sebuah peran yang tak di mengerti, dan mungkin sangat tidak sengaja “terjatuh” pada sebuah dunia yang sedang bercerita tentang kesedihan seseorang akan cinta yang telah hilang, berlalu pergi karena yang dicintai memilih pergi.


Dari percakapan-percakapan denganyalah kata “Malaikat” meluncur dan mendarat pada dadaku. Lucu dan sebenarnya tak ada yang sungguh istimewa dengan apa yang kulakukan untuk seseorang ini. Aku hanya berada di waktu yang tepat untuk membuatku cukup layak menyandang nama itu, karena sebenarnya aku hanyalah manusia yang telah lupa arti kata ”Optimis” atau sederhananya lagi aku hanyalah seorang pesimis.


Ya, aku datang di dunia nona manis ini dalam keadaan yang sangat pesimis, karena itu aku sering bertanya ”kenapa harus aku?”. Itulah pertanyaan yang masih saja berulang di kepalaku, karena aku tahu masih banyak orang yang lebih hebat dan sangat optimis dalam berfikir, dan terlebih lagi dalam berpetuah bijak. Dan aku jauh dari itu semua.


Kepesimisanku berasal dari sebuah mimpi yang menggantung, dari mimpi-mimpi yang tak bisa kuusahakan, dan sayangnya tak bisa kukubur dalam liang paling dalam yang bisa kugali. Aku tak bisa menguburnya karena aku tak bisa membunuh juga harapan yang pernah ada, bukanya mati malah harapan itu tumbuh makin tinggi saat coba ku ingkari kalau dulu pernah ada.


Namun seiring percakapan-percakapan dengan nona manis itu aku tahu kalau kami tak jauh berbeda dalam berfikir. Saat ia menuliskan tentang hal-hal yang ia rasakan setelah yang tercinta itu pergi, aku berkata dalam hati ”ini mirip sekali denganku”. Dan entah kesurupan apa dan apa, aku menemaninya bercerita tentang banyak hal, walau lebih dominan masih tentang hati. Dan benar semakin kuakrabi nona ini makin terlihat kalau ia mirip denganku, terlebih lagi cara ia memandang harapan yang entah masih ada atau tidak, karena kami merasa yakin kalau kami tak cukup layak untuk orang yang kami cintai.


Aku, aku pernah jatuh hati pada seseorang yang dulu kukenal singkat. Anaknya berbeda dan pertama kali kulihat jika yang ”tertutup” pun bisa tetap terlihat indah walau dengan batasan-batasan yang pasti. Ia, yang mungkin jarang sekali tersenyum padaku, namun bukan berarti tak pernah tertawa dengan kalimat yang pernah kuucapakan saat kami ada dalam sebuah percakapan. Ia yang telah banyak kutulis dalam puluhan lembar halaman buku catatanku, dimana tak satupun bercerita tentang keinginan untuk tetap berharap. Aku takut berharap karena aku merasa jika aku tak cukup layak untuk mengisi ruang kosong di hatinya, yang memang saat itu masihlah kosong. Ia yang tergambar pada langit soreku yang singkat, dimana tak banyak kata yang ia ucap, senyum yang ia beri, namun dalam malamku ia selalu ada untuk kurindu, terlebih lagi saat aku dengar lantunan lagu ”Sandaran Hati” Letto, ia terasa menjadi yang menyesakan sekali. Ah, aku memang telah jatuh hati.


Namun tak sekali pun aku bergerak menuju arahnya, hanya diam termangu memandangi jasad dan jiwanya yang tiap detiknya semakin menjauh. Karena aku, karena aku mesih tetap memeluk kebodohanku dimana list dosa dan hal-hal yang kurang dan memang kurang dimatanya tak juga kuusahakan untuk sedikit demi sedikit aku kurangi. Aku tetap sama, dan mungkin tak juga menjadi baik. Jadi mungkin wajar jika akhirnya aku hilang dalam ingatannya, dan itu tak bisa kutawar sama sekali. Bukan karena Tuhan kejam, namun aku yang kejam terhadap diriku sendiri.


Ia yang masih saja kupandangi fotonya. Dan ada satu foto yang masih membuatku terpesona dan terperangah herah. Foto saat ia memakan kerudung dan kebaya warna merah muda, ia sangat menawan sekali terlebih lagi dengan senyumnya yang kadang ala kadarnya itu, Subhanallah ia sangat indah Tuhan, siapakah yang kelak menghalalkanya?


Itulah, cerita tentang awal dari sebuah kepesimisan yang masih kujalani sampai sekarang. Dan tak sedikit pun aku berusaha untuk bangun dari lelapnya rayuan mimpi yang memang manis. Mungkin yang terjadi hanyalah aku yang akan bersedih atau mungkin menangis saat ia kujumpai sedang berbahagia pada dekap peluk seseorang. Seperti sebuah kalimat yang pernah ia katakan setahun yang lalu, dimana mataku mulai basah saat mendengar dan berfikir jika ia memang bukan untuk kumiliki lengkap. Ia ada hanya untuk kurasakan. Dan mungkin sebenarnya itu telah cukup mewah untukku yang sebiasa dan sedikit warna ini, namun entahlah.


Kembali ke tema awal.

Jadi sebenarnya apa pun yang aku lakukan untuk nona manis ini memang bukan hal besar, aku hanya tak sungguh tega melihat orang yang sama menderitanya sepertiku, menjadi pesimis itu tak ada indahnya sama sekali, hanya berisi kehampaan di beberapa sudut atau mungkin di semua sudut yang pernah terisi.


Dan tentang jawaban ”untuk apa aku berada disisni, dan kenapa harus aku?”, entah jawaban sebenarnya seperti apa, namun mungkin aku memang harus ada untuk mengerti dan belajar membahagiakan orang lain yang sedang di landa keresahan yang sama sepertiku. Dan jika itu berhasil pada nona manis ini, mungkin itu juga berhasil untuk diriku. Wallahualam..


Dan sekali lagi perlu kukatan; ”Aku ini bukan ”Malaikat” karena aku tidak memiliki satu pasang pun sayap, aku sama sepertimu, hanya makhluk Tuhan yang bernama ”Manusia”. Dan tentang semua yang terasa hebat untuk kita rasakan dulu kala melalui percakapan-percakapan itu, sekali lagi semuanya hanyalah kebetulan.”


Last: Selamat Tidur Untuk ”Yang Terlewatkan”

Senja

Cerita Pendek Tentang Senja


Kisah ini, yang telah lewat bertahun yang lalu. Lama dan harusnya mudah untuk dilupakan, tapi untukku tetaplah sama, tak berubah dan memang berbeda karena ini sebuah cerita tentang cinta. Namun harus kuakui jika semuanya tak mungkin lagi terulang, semuanya telah terkikis waktu hingga menjadi samar adalah yang wajar. Semuanya menjadi yang tak ada sekarang, tentangnya yang dulu adalah warna berbeda yang hadir di langit soreku. Dia, satu diantara jajaran keindahan yang Tuhan hamparkan pada dunia yang terbatas, menggariskan penggalan senyuman yang selalu terhadir pendek pada dinding-dinding waktu yang sunyi, seperti pendeknya senja yang menawan dengan warna dan rona merahnya. Sangat indah, dan aku pernah berharap tentang itu.


Biasa kutulis dan jabarkan tentangnya yang tak ada lagi, karena telah lalu dan mulai buram dalam ingatan:


Suara itu, semakin asing sekarang..

Aneh, itulah yang kupikirkan..

Saat semuanya menjadi sebiasa ini..

Tak ada langkah atau pun senyuman..

Yang mungkin tertuang sekarang..


Dia tak lagi ada, tak lagi ada untuk setia kutunggu didepan pintu rumah itu. Ya memang tak ada, terlebih lagi apa yang pernah terjalani selama tiga bulan itu telah lama selesai. Jikapun melihatnya hanyalah kebetulan-kebetulan yang singkat, malah lebih singkat dari gerak detik di jam tanganku. Tik.


Sore itu, di mana ia ada, dimana ia berjalan menyusuri jalan kecil yang telah rapi. Dia yang sesekali tersenyum dan tertawa saat bermain dengan anak-anak dusun yang pulang dari belajar mengaji. Ah, ia sangat menawan seperti seorang perempuan yang telah matang dengan emosi manusianya. Bermain dan bercanda, bagai seorang ibu yang begitu mengerti arti menyenangkan yang kecil. Dia yang ada, dan berjalan menyusuri senjaku yang terbatas, kemudian hilang dan lenyap saat suara deru motornya meninggalkan halaman rumah itu.


Namun ia pun tak selalu ada di antara senja yang kujalani dirumah itu, karena sebuah jadwal atau sebuah kesibukan yang berbeda. Seperti dua bait sajakku tentangnya ketika ia tak hadir dalam senjaku:


Semilir angin nan lembut namun sunyi..

Tak ada lagi nyanyian burung dikala senja..


Semuanya terasa kosong saat ia tak ada. Sunyi, bagaikan sunyinya suasana perkabungan yang menyedihkan. Tak ada pinta karena dalam perkabungan hanya ada diam. Yang ada hanyalah perasaan kosong akan seseorang yang terasa pernah mengisi namun tak ada lagi. Suara burung-burung kecil yang biasa hinggap di atas ranting pohon Mangga terasa hilang, walau mungkin sebenarnya mereka sempat bersuara, hanya saja hatiku selalu saja kaku karena tak adanya ia yang datang dan berkata dengan suaranya yang terkadang tak sungguh merdu ”Assalamualaikum


Kadang sangat sadar jika apa yang pernah ada kala itu tak mungkin kembali dan tiap detiknya bisa kunikmati dengan lebih puas, namun ada yang terasa kaku setiap kuingat tentangnya. Mungkin inilah yang masih saja datang untuk kutanyakan dalam hati. Bertanya tentang ingatan yang telah lampau itu, karena dalam hatiku ada sepenggal harap jika ada diantara ramainya ingatanya tentang dunia, ada secuil tentangku yang pernah hadir sesaat di dunianya. Walau kuharus sadar dan sangat sadar jika di tanah asing yang terhampar di sebelah timur Jogjakarta itu, ada penggalan hati yang mengharapkanya pula, seorang teman yang lebih berani untuk bergerak. Mungkin kalau di sajakkan akan berbunyi seperti ini:


Tidakkah engkau mampu mengingatnya..?

Disanalah engkau selalu kutunggu untuk datang..

Kurindu, karena kurindu maka aku selalu berdiri didepan pintu itu..

Tak peduli, kadang..

Jika seorang temanku menunggumu pula dengan cemas..

Disalah satu ruang dirumah itu..


Semua telah lewat, telah lewat lama dari yang pernah terjalani. Senja atau apapun namanya tetaplah sebuah kesunyian yang masih terasa aneh, seperti ketika aku hanya bisa memandanginya dari kejauhan atau menatapnya penuh kagum dari sebuah jendela yang berkaca kusam. Senjaku yang berisi kata diam, dan aku hanya bisa melantunkan semuanya pada sebuah prosa yang gersang.


Dia yang menawan dengan keindahan yang hanya bisa terjabarkan saat kata “indah” itu menemukan ujungnya. Ah, ingin sekali kulihat ia lagi, bukan hanya lewat foto-foto masa lalu yang masih kusimpan di komputerku.


Selain sajak-sajak yang terasa gersang itu, seorang adik pernah memberiku sebuah tulisan yang membuatku tersenyum karena didalam ceritanya sungguh benar ada aku. Bukan karena kebetulan kalau isinya memang sesuai sekali dengan ceritaku tentang perempuan itu, maklum beberapa hari sebelumnya kami pernah berbincang tentang ia. Inilah sajaknya, dan aku menyukainya terlebih lagi dengan kalimat-kalimat hiperbolisnya yang selalu membuatku tertawa..


Sajak

Secangkir teh akan terasa lebih manis jika diminum bersama dirimu dalam satu gelas ditambah rasa cinta dan sayang,

Sebutir nasi akan terasa mengenyangkan jika, nasi itu dimakan bersamamu teriring do’a yang tulus dan ikhlas

Sajadah tempat ku bersujud akan terasa lebih khusyu dan tenang, ketika jiwa kita menyatu dan mengahadap sang Ilahi dalam satu kehalalan, saat dirimu ada dibelakangku untuk selamanya dalam ibadah yang paling sakral,

Sang Ilahi tau sebesar apa cintaku dan niatku untuk slalu ada disisimu, tapi, lagi2 ketika raga bertatap, mata mulai menjatuhkan lagi satu pandangan yang mengikat jiwa, dan senyumnya mengikat seluruh ruang kosong, hanya kegugupan yang hadir disela keringat dingin yang terus mengalir…

Ingin ku katakan aku cinta kamu,
Aku sayang kamu,
Aku rindu kamu,
Layaknya kaum2 yang sedang asik menjalani masa perkenalan mereka,
Tapi… untuk ku coba mengatakan hal itu, bukan sulit, tapi… akh, entah apa itu, aku tak mengerti…


Itulah ia, seseorang yang berakhir dalam baris sajak dan kebodohanku yang kaku. Selesai. Dan jika dideretkan dalam kalimat, maka akan berbunyi seperti puisi yang sempat kukirimkan pada sebuah stasiun radio yang ada di Jogja, namun entah sempat terbacakan atau tidak.?!


Lelaki Bodoh

Aku hanya tersenyum menatapmu, kala itu..
Memandangi engkau yg dulu slalu kutunggu..
Jam 3 sore, di depan pintu, di rumah itu..
Di sudut timur Jogja, tempat KKN kita dulu..

Hari itu semuanya putih,.
Kerudung dan semua yg engkau kenakan,.
Tahukah engkau jika itu cukup membisukanku..?
Terperangah kaku dan beku..
Hingga bahasaku berubah lirih..
Saat sadarku mulai berkata..
" Esok engkau menjadi yg terlewatkan, Untukku"..

Jalan yg panjang itu pun kan berakhir untuk kulalui..
Sudah, seperti selesainya 9 menit 47 detik yg lalu..
Tak ada kata rindu, walau sangat merindu..
'Cinta', ahh, aku tak mengerti kata itu..


Selesai dan Tamat.

Tak Lengkap

Dongeng yang Tak Lengkap.


Dalam yang tak pernah diam, penggalan-penggalan itu kian bergerak cepat. Bagai kilatan petir dikala hujan yang lebat dan di waktu yang sunyi. Dan tentu saja sunyi karena tak ada seorang pun yang enggan bermain dengan rinai yang lebat, terlebih lagi sepaket dengan petir. Itu seperti mega maut yang gelap dan tak seorang pun mencari mati, “berakhir” itu kehilangan. Semuanya. Inilah hidup.


Semua telah berubah, dan entah apa yang sebenarnya ingin kutulis. Karena beberapa hari ini pikiranku makin pengap. Tapi kemarin setelah membaca tulisan disalah satu blog temenku yang berjudul “kenapa cinta harus dibuang?”. Ya, tulisan yang bagus, menggambarkan sebuah teori kalau tidak semua yang kita inginkan itu sejalan dengan kenyataan yang mungkin datang. Kehilangan itu pasti, maka doa yang tepat bagi kita yang terbatas dalam memiliki, “perpisahan itu pasti, namun aku berdoa jika masa itu masihlah lama datangnya”. Itu kalimat yang temanku ucapkan kepada seseorang yang ia sayangi, dan benar perpisahan itu datang, mungkin yang menyakitkan adalah jika ternyata datangnya lebih cepat dari yang dibayangkan. “Cinta itu memiliki??”, namun sayang hidup tak semerdu suaranya Gita Gutawa dalam lagu “Sempurna”. Jadi kehilangan itu pasti.


Saat kita sakit karena cinta, kita merasa itulah akhir dunia atau cinta yang dulu tak lagi layak untuk diingat, namun terkadang ada juga yang tetap mengingatnya walau sebenarnya telah selesai lama. Dan kadang tanpa kita sadari saat sebuah cinta baru datang, kita merasa takut, kita takut kalau sekali lagi kecewa, terluka dan hampa. Namun bukankah hidup memang kadang mengecewakan, lalu kenapa kita takut memeluk cinta yang datang padahal mungkin cinta itulah yang telah lama kita tunggu? Menyesal itu lebih menyakitkan, lebih menyakitkan dari cinta yang patah. Karena tak ada yang bisa disyukuri.


Ada cerita tentang seorang teman, dia itu teman baikku. Dahulu ia pernah dikecewakan oleh seseorang yang ia sayangi. Cintanya berakhir saat sang perempuan memilih meninggalkannya dan menikah dengan orang yang mungkin baru beberapa bulan ia kenal. Dan cinta temanku yang telah ia perjuangkan selama beberapa tahun kandas tanpa arti. Perempuan itu pergi meninggalkan trauma yang mendalam. Dan temanku hanya bisa diam dengan pertunjukan itu.


Waktu berselang, hingga datang masa dimana ia merasa jatuh cinta lagi. Ia bahagia dengan cintanya, namun luka masa lalu itu membatasi dirinya dalam hal memberi. Bukan tentang barang, tetapi perhatian yang terkadang hanya setengah jalan. Namun cinta itu pun berakhir sekali lagi, cinta jarak jauh sekali lagi. Ternyata memang susah di pertahankan.


Temanku bercerita jika ia menyesal dengan perpisannya yang kali ini, ia merasa kecewa dengan apa yang tak bisa ia beri. “perempuan itu baik, perhatian sekali, namun karena keegoisanku tak ada yang bisa kuberi padanya, itulah yang paling kusesali sekarang”. Itulah kalimat yang tertinggal, dan ia tak bisa melakukan apa-apa karena memang tak ada lagi, namun jika ada yang bisa ia doakan untuk yang terkasihnya itu “semoga ia bahagia kelak”.


Namun mungkin benar setiap rasa sakit meninggalkan trauma tersendiri, halus namun kita tahu jika trauma itu sedang duduk manis semeja dengan kita sambil meminum secangkir teh. Ia sedang menanti, ia menungu kita merasakan rasa sayang, dan kala kita benar merasakan cinta sekali lagi trauma itu beranjak dari tempat duduknya dan sangat aggresif membisikan kata “hilang” dan “menghilang”. Ya, kata trauma itu pun pernah temanku ucap kala ia merasakan perasaan yang sama seperti yang ia rasakan pada kekasihnya yang lalu. Sepertinya trauma senang sekali bermain dengan orang yang pernah kehilangan.


Beberapa minggu yang lalu, aku menerima sebuah pesan pendek yang tak menyebutkan nama. Sebuah percakapan panjang yang kukira buah dari keisengan seorang teman yang sedang membalas keisenganku padanya dulu. Beberapa hari berlalu, ku coba membaca pesan-pesan pendek itu sekali lagi, dan ternyata kukenal dengan seseorang ini. Untuk memastikan siapa yang mengirim ini, coba kutanyakan pada seorang teman apakah ia yang memiliki nomer telephon itu, dan ia menjawab tidak. Ya, kemungkinan yang mengirimnya adalah dia, dia yang dulu selalu bisa tersenyum lembut, mungkin tanpa merasa berdosa atau bersalah. Namun tetap saja yang ia lakukan padaku itu menyakitkan. “Mudah saja bagimu untuk menyebut semuanya adalah pilihanmu yang keliru, persetan dengan itu, yang pasti selamanya takan pernah mudah untuk kumengerti, karena sakit dan sangat menyakitkan”, sebuah kalimat yang diam karena memang sakit untuk diingat kembali. Jadi mungkin aku pun masih berbalut trauma yang sama seperti temanku. Namun sepertinya traumaku lebih halus dari yang lainya, mungkin ia bersembunyi di dalam selimut di tempat tidurku.


Itulah singkat cerita tentang cinta yang sepertinya berakhir berbeda dari yang di harapkan. Dan karena itu perasaan takut akan kehilangan sekali lagi menjadi sesuatu yang wajar bagi mereka yang pernah pertemu dengan ”perpisahan”. Mungkin sebenarnya bukanlah cinta itu yang membuat kita takut untuk mencintai namun perasaan ingin memiliki selamanya yang kadang cenderung menjadi egois, dan saat ego itu terluka maka tanpa sadar kita menghakimi jika cinta memang sakit.


Jadi sebenarnya kenapa kita selalu takut untuk mencoba jika cinta itu datang sekali lagi? Banyak orang diluar sana yang begitu kesepian menanti cintanya untuk datang, namun ternyata tak juga datang. Maklum aku mengenal orang-orang itu dan aku sendiri sedang berperan menjadi salah satu tokoh yang bernasib seperti itu, menanti tapi tak pernah bergerak. Jadi sama saja, mungkin datangnya pun jadi setengah-setengah.


Oh cinta, maaf jika memang egois..

Namun aku ingin bahagia, terlepas dari kewajiban untuk membahagiakan.

Anak PM

Touring Ala Anak PM


Peristiwa tersebut terjadi di akhir bulan, tepatnya sekitar tanggal dua puluhan di bulan Juni 2007. Sebenarnya tak ada rencana yang sangat matang jika kami akan melakukan perjalanan dengan bergerombol.


Pada bulan itu aku ada rencana pulang kampung ke Cirebon bareng Andri temanku yang juga orang Cirebon. Dan niat kami berdua itu menaiki motornya Andri dari Jogja sampai ke Cirebon. Dan kabar-kabar kepulangan kami itu terdengar oleh tetangga kamar yang rasanya memang lagi pada suntuk karena ujian akhir semester telah selesai. Jadi mereka pun ingin ikut serta dalam perjalanan yang menempuh jarak kurang lebih 360 km itu. Terlebih lagi anak-anak itu sekalian ingin silaturahmi ke rumah Riski yang ada di daerah Indramayu, jadi bisa dikatakan kami satu jurusan.


Acara pun disiapkan, dari dokumentasi sampai dengan bekal perjalanan. Rencananya yang akan mengikuti acara ini sekitar 10 orang, namun karena beberapa hal jadi yang positif terlibat dalam acara tersebut hanya 7 orang yaitu: Andri, Imam, Febri, Riski, Toto, Aci dan aku Deni. Motor diabsen dan juga siapa saja yang akan mengendarai. Selain itu bagi mereka yang sangat mengenal rute Jogja-Cirebon di harapkan panduannya yang jelas agar jangan sampai ada yang tertinggal atau tersesat. Karena yang sangat hapal rute perjalan ini hanya 2 orang yaitu Andri dan Riski maka diadakan pembagian pos. Andri berada paling depan sebagai ketua rombongan, sedangkan Riski berada yang paling belakang sebagai penjaga akhir rombongan.


Pada saat rapat-rapat terakhir sebelum hari H kami mebahas ulang tentang mekanisme kecepatan motor yang akan di gunakan, apakah 60 km/jam, ataukah lebih dari itu?. Dan kami menyepakati kecepatan motor rerata 60km/jam. Selain itu rencananya kami tidak langsung ke Cirebon, jadi selama perjalanan panjang itu kami akan singgah terlebih dahulu di rumahnya Febry yang berada di daerah Bumi Ayu, Brebes. Setelah semua di rasa beres dan clear, maka disiapkanlah bekal yang di perlukan selama perjalanan.


Hari H, hari Minggu pagi. Karena watak anak kost memang sangat fleksibel seperti karet maka rencana berangkat on time jam 6 pagi, apadaya baru pada bangun tidur, kalaupun ada yang sudah bangun masih malas mandi. Karena hal-hal yang diluar rencana tersebut maka kami baru berangkat dari daerah kost kami yang ada di Jakal jam 8.30 pagi. Ngaret 2.5 jam dari rencana. Tapi tetap di maklumi, namanya juga anak kost jarang yang bisa bangun tepat waktu, terlebih lagi setiap terjadi pergantian musim udara Jogja menjadi sangat dingin. Jangankan langsung mandi, mata melek saja sudah untung.


Tanpa lupa membaca Basmallah perjalan pun langsung kami lakukan. Kami mengambil rute Ring Road Barat sampai ke Gamping kemudian mengikuti jalur Selatan Jawa dengan melewati Purworejo, Kebumen, Banyumas, sedikit Cilacap, Purwokerto, Brebes dan terakhir ke Cirebon.


Seperti yang telah di jelaskan tentang penggunaan rerata kecepatan laju motor, ternyata tak ada satu pun yang menikuti kaidah tersebut. Terlebih lagi si Andri yang dengan nyantainya melaju motornya dengan kecepatan 90 km/jam, dan tentu saja itu membuatku yang memboncengnya panas dingin ketakutan. Seram pol cara nyalipnya Andri. Namun baru sampai daerah perbatasan antara Jogja-Purworejo ada kabar yang mengagetkan, ban motornya Imam pecah gara-gara melabrak lubang jalan yang lumayan dalam. Akhirnya Imam pun tertinggal, namun untungnya ada si Riski yang bertugas sebagai penjaga baris belakang. Dan kami pun mencari bengkel motor yang ada di daerah tersebut, alhamdulillah tak jauh dari tempat kejadian ada bengkel. Jadi selama menunggu motor Imam beres kami istirahat sejenak, terlebih lagi banyak diantar kami yang kebelet kencing. Selama istirahat tersebut ternyata cuman 1 orang yang membawa bekal air, jadinya 1 botol Mizone di bagi ke 7 orang. Payah.


Perjalanan kami lanjutkan kembali sampai di suatu tempat kami berhenti sejenak, bukan untuk istirahat namun hanya untuk berfoto ria. Kami berhenti di persimpangan di daerah Purworejo. Di daerah itu ada sebuah tugu, dan kami foto-foto di tugu tersebut. Yang jelas di dekat tugu itu ada sebuah gedung sekolah SMA.


Setelah selesai acara bernarsis ria, kami lanjutkan perjalanan melewati daerah-daerah yang lumayan baru bagi sebagian orang. Maklum 3 dari 7 orang yang mengikuti touring bersama itu anak luar pulau. Mereka anak-anak Sulawesi yang entah sengaja atau tidak terdampar di Jogja. Selama perjalanan itu Andri yang bertindak sebagai ketua rombongan masih tetap menjaga konsistensi kecepatan motornya, karenanya anak-anak yang lain sering ketinggalan jauh di belakang. Karena itu tugasku menjadi sangat penting untuk memberitahuanya jika yang lain telah tertinggal jauh dibelakang.


Setelah dirasa sudah masuk waktu dzuhur kami sempatkan untuk istirahat, dan juga sekalian memastikan kesiapan rumahnya si Febri untuk menampung kami. Tapi kami tak terlalu khawatir karena disana ada Ruli yang juga satu kost dengan kami, yap Ruli dan Febri itu kakak adik jadi tentang apa yang perlu disiapkan semuanya bisa diatur.


Setelah istirahat dan sholat selesai, kami sisipi dengan acara bernarsis ria. Lumayan buat kenang-kenangan. Oy, tambahan ternyata efek dari melabrak lubang yang cukup dalam itu ada bagian dari motor Imam yang patah yaitu step belakan yang menyangga knalpot motornya Imam, karenanya kami bener-bener dilarang ngebut. Maklum bisa membahayakan motornya Imam.


Perjalanan pun dilanjutkan, kami sudah memasuki daerah Banyumas dan sebentar lagi memasuki perbatasan Cilacap. Didaerah ini, entah sedang kesurupan atau apa si Riski melaju motornya dengan kecepatan yang masuk kategori tinggi, padahal orang yang sedang ia bonceng bukanlah orang yang bisa disebut “ringan”, namun tetap saja ia melaju motornya tanpa kompromi, bis yang sedang ngebut saja dia salip. Setelah di slidik-slidik bensin motornya sudah mau KO, jadi kalau terlalu pelan malah bisa kehabisan di tengah jalan, karena itu ia ngebut buat nyari pom bensin.


Dan tanpa disadari akhirnya kami sampai juga di rumahnya si Febri. Kami disabut oleh bibi’nya si Febri yang ternyata tinggal bertetangga. Disana kami di jamu dengan hal-hal yang mengenyangkan, pokoknya pol bikin kenyang. Setelah acara makan siang yang telah kelar, sebagian besar dari kami langsung tepar. Maklum beberapa dari kami masih belum terbiasa melakukan perjalanan jauh jadi fisik kami tidaklah sekuat mereka yang telah terbiasa. Malam hari di rumah Febri kami habiskan dengan mengobrol sambil di temani segelas kopi. Malam itu kami tak boleh tidur terlalu malam karena besok paginya langsung di laju kembali ke rumahku yang ada di Cirebon tepatnya di daerah Palimanan.


Dasarnya orang-orang males, kami ternyata bangun terlalu siang. Jadi rencana berangkat pagi dari tempat kediaman Febri harus kami undur sampai agak siangan.


Sekitar pukul 10.30 kami melakukan perjalanan lanjutan ke Cirebon. Dan kali ini motor Imam di tinggal di tempat Febri karena ada bagian yang rusak. Jadi si Imam numpang bareng Riski yang sebelumnya berboncengan dengan Febri.


Dua jam berlalu akhirnya kami semua sampai juga di Cirebon setelah melewati begitu jeleknya jalan Pantura. Pokoknya jalan Pantura yang kami lewati kala itu penuh dengan lubang-lubang yang menganga lebar, dan tugasku sebagai penumpang di motor kepala rombongan memberi tahu rekan yang ada di belakang kalau ada lubang yang dirasa bisa merusak motor. Perjalanan dari rumah Febri sampai dengan rumahku memakan waktu kurang lebih dua jam. Dan alhamdulillah kami selamat sampai tempat tujuan. Tapi di tengah perjalanan itu kami sempatkan untuk bernarsis ria di daerah yang sedang panen Bawang Merah. Tak jelas namun itulah yang kami lakukan di tengah para petani yang hanya bisa memandangi kami dengan heran.


Sesampainya dirumahku kami semua sempatkan istirahat sambil memakan makanan yang telah disediakan untuk menyambut kami. Dan setelah selesai dengan acara mengisi perut itu kami beranjak ke rumah Andri yang tak jauh dari rumahku. Minum teh dan beberapa kue sambil berfoto ria, itulah yang kami lakukan di rumah Andri.


Acara-acara kunjungan di Cirebon telah selesai, para rombongan yang terdiri dari Imam, Aci, Riski dan Toto melanjutkan perjalanan ke Indramayu, sedangkan aku dan Andri tetap di Cirebon karena dari awal kami memang tidak ada rencana untuk ikut dalam perjalananan ke Indramayu.


Beberapa hari kemudian, tepatnya hari Kamis kami akan melakukan perjalanan kembali ke Jogja. Namun rombongan yang beberapa hari yang lalu berangkat ke Indramayu singgah terlebih dahulu di Cirebon pada hari Rabunya, menginap tepatnya. Nah, disinilah terjadi peristiwa yang bikin anggota rombongan pada pusing, si Toto minggat duluan ke Jogja tanpa memberi tahu kami, otomatis kami mencari dia ke terminal bis dan sayangnya kami tidak bisa menemukannya. Dan alhamdulillah ia memberi kabar kalau ia sedang dalam perjalanan pulang, walau sebenarnya kami lumayan khawatir karena bagaimanapun juga si Toto baru pertama kali jalan-jalan jauh di daerah Jawa, dia anak Sulawesi. Tapi sampai sekarang aku belum jelas alasan kenapa ini orang kabur duluan.


Kamis pagi, atau lebih tepatnya kamis siang. Kami memulai perjalanan pulang ke Jogja. Rute yang kami ambil masih sama karena kami juga harus menjeput Febri dan Ruli yang akan ikut pulang bergrombol mengendarai motor lagi. Cuaca hari itu lumayan kurang bersahabat, karena di beberapa tempat kami terpaksa berhenti karena terhalang hujan. Dan karena hujan itu pulalah kami sampai di Jogja sudah terlalu malam. Kami sampai di perbatasan Jogja-Jawa Tengah sekitar pukul tujuh malam, dimana dalam perjalanan itu disertai gerimis mengundang. Saat perjalanan pulang ke Jogja itu formasi pengendara dan pembonceng kami rubah, aku tak lagi membonceng di Andri tapi ke Ruli walau motor yang kami gunakan tetap motornya Andri. Sedangkan Andri mengendarai motornya Imam sendirian karena bagaimanapaun juga barang yang ia bawa di ranselnya lumayan banyak. Sedangkan untuk dua formasi yang lain tak jauh berbeda, Febri tetap membonceng dengan Riski, sedangkan Imam berboncengan dengan Aci. Selama aku berformasi dengan ruli kami bergantian menyetir. Aku mendapat jatah nyetir dari Purworejo sampai Jogja dan itu lumayan membuatku kelelahan. Hal yang paling membuatku panik dan bingung adalah motornya Andri yang susah sekali kunaikan gearnya, jadi kadang bukan aku yang menaikan gear tapi si Ruli, maka bisa di bayangkan betapa repotnya perjalanan itu.


Sesampainya di Jogja kami tidak berencana langsung pulang ke kost kami yang ada di daerah Jakal Km 12. Karena kami berencana akan singgah terlebih dahulu di daerah Kali Code buat sekedar melepaskan lelah kami dengan meminum secangkir teh atau segelas kopi panas. Kami tidak terlalu lama duduk-duduk di bantaran Kali Code tersebut karena bagaimanapun juga kami memang sudah kelelahan, terlebih lagi tak ada pemandangan yang membuat kami tertarik untuk lebih lama nongkrong di tempat tersebut.


Sekitar jam setengah sepuluh malam kami akhirnya memilih pulang. Dan memang wajah kami sudah terlihat sangat lelah. Sampai-sampai makanan yang sudah kami pesan untuk kami makan sambil minum kopi dan teh itu tidak sempat kami makan semuanya. Sisanya kami bungkus. Dan memang karena lelah itu membuat kami tidak terlalu bersemangat untuk makan.


Dan akhirnya kami pun sampai juga di kost kami tercinta. Tapi tidak semuanya, karena ada beberapa orang yang tidak langsung pulang ke kost, ada yang menyempatkan diri untuk mengecek ATM, maklum uang pegangan selama perjalanan telah habis. Setelah meletakkan barang-barang yang kami bawa, langsung saja beberapa orang dari kami mandi untuk menghilangkan perasaan gerah karena keringat. Dan setelah mandi itulah tanpa sadar satu per satu dari kami tumbang. Malam itu tidur terasa nikmat sekali.


Sekian saja ceritaku tentang perjalanan panjangku bersama rekan-rekan kost PM pada bulan Juni tahun 2007 yang lalu. Perjalanan yang melelahkan namun kami menikmatinya karena setelah itu banyak hal yang bisa kami tertawai. Misalnya cerita si Aci yang menyalip mobil dari sebelah kiri dan hampir saja jatuh ke bahu luar jalan dan Toto yang bertindak sebagai penumpang merasa ketakutan sekali. Mungkin karena di Jogja menyalip dari sisi kiri itu aman-aman saja, tapi jangan sekali-kali menyalip mobil dari sebelah kiri kalau memang tidak yakin terlebih lagi di jalan besar. Beda daerah beda adat berkendara juga.


Selain cerita tentang itu, ada juga cerita yang membuatku kesal ke Aci. Malam itu, entah kami telah sampai di daerah mana, saat itu ia dan Imam bertindak sebagai rombongan terdepan, dan kurang ajarnya dia memberi tanda kalau kami aman untuk menyalip mobil yang ada di depan kami. Dia dan Imam mungkin aman untuk menyalip tapi untuk kami itu sangat beresiko, karena saat kami akan menyalip, ada mobil dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, otomatis kami kaget setengah mati, dan satu lagi pengendara mobil di belakang kami tak henti-hentinya membunyikan klakson mobilnya, mungkin kaget dan kesal dengan tingkah kami.


Sebenarnya masih banyak cerita yang lain yang tidak kalah lucu dan anehnya, namun aku tidak berencana untuk menuliskanya semua, cukup kami ingat dalam ingatan kami masing-masing. Sekian dan terima kasih. ^_^

Hidup Anak PM!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

salah?

Bulan-bulan telah berlalu, waktu semakin cepat melewati, pagi, siang, sore dan tengah malam yang tenang. Aku bertemu dengannya, seorang perempuan cantik yang entah anak siapa dan tinggal di mana, hanya saja ia sangat menarik walau hanya dalam sebuah foto. Kutemui ia di sebuah bulan yang sepi dan tenang..


Dia yang bernama, namun tak pernah kuingat sebagai nama, karena bagaimanapun juga ia tak ada dan tak kukenal. Namun terkadang terasa aneh saat aku berbincang dengannya, dimana ia terasa dekat dan sangat nyata, tepat terasa didepanku sambil tertawa setiap kutulis rayuan padanya. Entah apa yang membuat kami tetap ada selama ini, membuat kami bisa saling berkata, bercerita, mendengar, dan saling berdoa untuk mimpi kami masing-masing. Terasa dekat sekali, apa lagi dengan semua kemanjaannya yang selalu membuatku tertawa..


Dibulan itu, di bulan yang sangat panas karena hujan tak lagi bercerita tentang rintik. Ia begitu tenang, datar tepatnya. Karena ia yang saat itu ada dalam pelukan yang sangat nyaman dan damai, karena ia masihlah bahagia dengan semuanya. Namun karena hidup terkadang seperti perbandingan sederhana, ada yang disebut menyenangkan, maka ada pula yang disebut menyedihkan. Di minggu terakhir di bulan itu, ia robek dan basah. Terlepas dari apa yang telah lama menjaganya.


Inilah waktu yang membuat sebagian dari diriku tersenyum aneh, aneh dan memang terlihat lucu, dimana aku mendapatinya dalam keadaan yang “robek” lagi. Tapi kali ini deras air mata yang mengalir dari sudut matanya bagai riak sungai yang dangkal. Ia sedih, dan kesedihannya lebih mirip badai dari pada hujan standar yang lebat, karena tangisnya yang kali ini terlalu “kalap”, dimana petir dan angin saling berkejaran untuk menciptakan badai yang lebih lebat. Mungkin apa yang ia rasakan kali ini benar cinta. (Dramatisasi mode On)

Ah sudah, sudah terlalu banyak ku deskripsikan cintanya, terlalu banyak dan semakin tak kumengerti. Untuk apa aku ada disini, dan kenapa harus aku?


Hahahaha, itu pertannyaan yang ingin kudengar jawabanya. Untuk apa orang sepesimis aku harus datang di dunianya yang sangat mendung dan bercerita hal-hal yang begitu penuh harapan? Aku tak sehebat itu untuk membuat seseorang kembali percaya jika sakit itu sesuatu yang wajar. Walau aku sering mengatakan itu, namun sebagian dari diriku masih menyimpan seonggok dendam, dimana aku begitu ingin melihat orang yang membuatku menderita dulu kala bisa kulihat menderita pula. Hahahaha payah.


Sekarang, beberapa bulan ini tepatnya. Lebih sering berfikir. Tentang dia tentunya. Tentang dia yang katanya tak lagi menangis saat teringat “cintanya”. Berfikir tentang waktu, tentang diriku yang mungkin tak selamanya bisa menjawab setiap pertannyaanya. Ia pasti sudah lebih kuat sekarang, karena bagaimanapun juga disekitarnya masih banyak orang yang menyayanginya dan mampu memberikanya jawaban atas apa yang ia tanyakan, mungkin lebih baik dari jawaban yang bisa aku beri. Apa lagi aku hanyalah “ilusi” dan “maya”. Aku ini tak ada.


Waktu bergulir makin cepat sekarang, tapi tidak baginya. Terlalu lama, terlalu lama, jika ia harus selalu sendiri dan menangis sendiri tanpa ada seseorang yang bisa ia pinjam bahunya guna melepaskan lelah dari tangisnya itu. Kadang ingin sekali saja kudengar kalau ada seseorang yang datang di setiap malam minggunya, mengajaknya keluar dan berkeliling menikmati udara malam Jogja. Dia senang, dia amat senang dengan apa yang ia rasakan malam itu, dan kemudian ia bercerita kepadaku betapa bahagianya ia. Itulah yang masih kutunggu hingga saat ini, namun belumlah datang. Bukan telah sangat enggan mendengar semua ceritanya, namun aku ingin ia bisa bercerita tentang mimpi-mimpinya dengan lebih nyata, bukan denganku karena aku ini tak ada. Sudah saatnya ia mampu berkata dan bercerita kepada yang “nyata” tentang tempat-tempat yang membuatnya senang, malam yang seperti apa yang menurutnya indah, dan berapa anak yang ia inginkan saat telah menikah kelak. Kayanya 3 anak cukup. Wkwkwkwkw.


Jika ada yang berkata kepadaku setelah membaca ini “Sok baik sekali!!”. Hahaha, lebih baik sok baik dari pada sok jahat. Jika ada hal yang pasti untuk kurasakan, mungkin aku akan cemburu mendengarnya tak lagi sendiri. Tapi bukankah hidup itu berisi kecemburuan-kecemburuan, jadi jika akhirnya aku merasa cemburu bukankah itu wajar. Hahaha.


Dan jika ada hal yang sangat kuinginkan sebelum melihatnya sebagai sesuatu yang tak bisa kusentuh. Sekali saja aku ingin melihatnya, melihat pipinya yang begitu bulat seperti bakpao. Sekali saja aku ingin melihatnya, tak harus ia melihatku pula. Aku hanya ingin memastikan jika ia memang benar ada, jika ialah yang selalu memanggilku “papiQ”. Hahaha.


Jika ada gambaran sederhana tentang aku dan semua yang pernah melewatinya. Jika kugambarkan sebagai sebuah perjalanan dimana awalnya adalah tempat ia tumbuh besar sampai pada tempat yang menurutnya menyenangkan. Mungkin seperti ini. (tapi karena keterbatasan data, jadi mungkin agak kaku).


Ø Dia diantarkan “seseorang” yang ia percaya dari rumahnya menuju SMA’y, dan sesampainya disana perjalanan itu pun berhenti.

Ø Dari SMA’y kemudian ada yang mengantarnya sampai ke kampus megah UGM. Namun berhenti di perempatan Mirota. Kenapa harus berhenti disitu? Lah, bukannya kampus anak Rekam Medis ada di dekat perempatan itu?

Ø Dan dalam kebingungnya tanpa disengaja ia menemukan sebuah “peta”, sebuah peta yang hanya berisi tulisan dan tak ada gambar sama sekali, terlebih lagi sebuah sentuhan yang terasa dekat. Dan peta tersebut menuntunnya sampai kampus tercintaku UII. Dan akan kembali berhenti di Boulevard kampusku itu.

Ø Bagian terakhirnya, ia mungkin akan bertemu dengan seseorang lagi, dan seseorang itu mengajaknya berjalan lebih keatas. Kearah Merapi. Bukan untuk bersemedi. Hanya untuk mengajaknya duduk-duduk diatas batu-batu besar sisa letusan 2006 kemarin, disebuah tempat yang sunyi, disalah satu kaki gunung disana. Dan seseorang itu akan menemaninya melihat bintang-bintang dengan ribuan kilauannya yang menakjubkan, sebuah sungai langit yang begitu memesonakan. Ya, sebuah pemandangan yang indah di malamnya yang tak lagi mendung, karena ia tak lagi menangis, karena ia yang saat itu bisa kembali tersenyum dan tertawa. Ia telah kembali bahagia.


Hahahaha, mungkin ini gambaran yang terlalu aneh, tapi aku menyukai potongan-potongan itu, walau tak terlalu terlihat bermutu, tapi aku menyukainya, itu saja. ^_^


Sekian saja ceritaku, khawatir kalau dia membacanya malah bikin ‘mewe’ lagi. Mungkin dia memang terlalu sentimentil, tapi begitulah temanku itu. Mungkin Tuhan merancang dirinya seperti itu, dan pasti tak ada yang percuma dari apa yang Tuhan ciptakan padanya. Pasti ada arti dari kesentimentilan dan kemelodramatisan yang ada padanya, terlepas dari dirinya yang memang orang Indonesia tulen dan orang Jawa yang kemayu. Hahaha.

Sekian saja dan terima kasih banyak sudah membaca…………^_^