Minggu, 10 Mei 2009

pemimpi

Senja Kala dan Seorang Pemimpi


Hari berjalan makin cepat, detik-detik tak lagi terhitung. Dan waktu memang tak bisa diam, terus bergerak kedepan dimana kamu tak lagi mampu kulihat seperti dulu, hanya sebuah kebisuan yang tersisa, hanya sebuah keterpesonaan yang menggantung, dan hanya sebuah kata cinta yang mendarat tajam dilubang ilusi.


Prolog, pada deret kata-kata itu ku mulai bercerita, tentang masa-masa yang lalu, tentang kamu yang masih menguasai anganku, dan tentang kamu yang terus saja melayang bagai awan dalam langit mimpiku. Kamu, kamu yang terlalu sederhana, tak ada kesan jika engkau ‘mewah’, namun kamu bagai setitik cahaya dilangit malam yang begitu dinantikan untuk datang, seperti penggalan nama belakangmu. Karena kamu adalah kamu yang kurindu.


Pada sebuah sepi, pada waktu-waktu yang kaku kamu selalu datang. Memang bukan karena aku kamu datang, hanya karena sebuah rutinitas yang selalu datang melewati waktu kita. Aku melihatmu, awalnya tak ada sesuatu yang membuatku arahkan mata ini padamu. Kamu terlalu kaku untuk kulihat, kamu berbeda, kamu adalah huruf-huruf pada lembaran halaman buku yang tak bisa kuartikan. Karena kamu adalah kamu.


Senja yang remang, suara burung makin samar terdengar, yang ada hanya suara anak-anak yang begitu riangnya bermain setelah selesai mengaji. Kamu, kamu selau bisa kulihat kala langit mulai menguning, kala semua rindu itu semakin menumpuk tinggi, tapi sayang tak pernah tertumpahkan seperti lava merapi. Beku dalam rongga yang dingin. Ya, memang terlalu menyedihkan.


Semua semakin menjauh sekarang, kamu tak selalu kulihat lagi seperti halnya kala itu. Jum’at atau pun Minggu, kamu selalu ada untuk kupandangi, walau hanya dari balik jendela dirumah itu. Kisah lalu itu telah usai, mungkin telah menjadi bagian yang usang dari ingatan beberapa orang. Tapi untukku tetap sama, tetap aneh, dan tetap masih membuatku diam dalam kebekuan yang dingin, mungkin membuatku Hypotermia. Mati rasa.


Sesekali aku pernah melihatmu, melihat pula bahwa dinding yang pernah kulihat dulu itu masih tetap ada. Mungkin semuanya memang hanya sampai disini, hanya menjadi kebisuan tanpa sisa, hanya menjadi keterpesonaan yang tetap menggantung, dan hanya menjadi kata cinta yang akan mendarat tajam dilubang ilusi. Tak ada lagi suara burung-burung yang selalu kudengar kala senja datang. Tak ada lagi suara anak-anak yang begitu riangnya bermain setelah selesai mengaji. Terlebih lagi suara detak jantungmu, yang entah dimana sekarang. Semuanya telah usai dan kamu berakhir dalam mimpi seorang pemimpi. Sayang....

Tidak ada komentar: