Minggu, 28 Juni 2009

salah?

Bulan-bulan telah berlalu, waktu semakin cepat melewati, pagi, siang, sore dan tengah malam yang tenang. Aku bertemu dengannya, seorang perempuan cantik yang entah anak siapa dan tinggal di mana, hanya saja ia sangat menarik walau hanya dalam sebuah foto. Kutemui ia di sebuah bulan yang sepi dan tenang..


Dia yang bernama, namun tak pernah kuingat sebagai nama, karena bagaimanapun juga ia tak ada dan tak kukenal. Namun terkadang terasa aneh saat aku berbincang dengannya, dimana ia terasa dekat dan sangat nyata, tepat terasa didepanku sambil tertawa setiap kutulis rayuan padanya. Entah apa yang membuat kami tetap ada selama ini, membuat kami bisa saling berkata, bercerita, mendengar, dan saling berdoa untuk mimpi kami masing-masing. Terasa dekat sekali, apa lagi dengan semua kemanjaannya yang selalu membuatku tertawa..


Dibulan itu, di bulan yang sangat panas karena hujan tak lagi bercerita tentang rintik. Ia begitu tenang, datar tepatnya. Karena ia yang saat itu ada dalam pelukan yang sangat nyaman dan damai, karena ia masihlah bahagia dengan semuanya. Namun karena hidup terkadang seperti perbandingan sederhana, ada yang disebut menyenangkan, maka ada pula yang disebut menyedihkan. Di minggu terakhir di bulan itu, ia robek dan basah. Terlepas dari apa yang telah lama menjaganya.


Inilah waktu yang membuat sebagian dari diriku tersenyum aneh, aneh dan memang terlihat lucu, dimana aku mendapatinya dalam keadaan yang “robek” lagi. Tapi kali ini deras air mata yang mengalir dari sudut matanya bagai riak sungai yang dangkal. Ia sedih, dan kesedihannya lebih mirip badai dari pada hujan standar yang lebat, karena tangisnya yang kali ini terlalu “kalap”, dimana petir dan angin saling berkejaran untuk menciptakan badai yang lebih lebat. Mungkin apa yang ia rasakan kali ini benar cinta. (Dramatisasi mode On)

Ah sudah, sudah terlalu banyak ku deskripsikan cintanya, terlalu banyak dan semakin tak kumengerti. Untuk apa aku ada disini, dan kenapa harus aku?


Hahahaha, itu pertannyaan yang ingin kudengar jawabanya. Untuk apa orang sepesimis aku harus datang di dunianya yang sangat mendung dan bercerita hal-hal yang begitu penuh harapan? Aku tak sehebat itu untuk membuat seseorang kembali percaya jika sakit itu sesuatu yang wajar. Walau aku sering mengatakan itu, namun sebagian dari diriku masih menyimpan seonggok dendam, dimana aku begitu ingin melihat orang yang membuatku menderita dulu kala bisa kulihat menderita pula. Hahahaha payah.


Sekarang, beberapa bulan ini tepatnya. Lebih sering berfikir. Tentang dia tentunya. Tentang dia yang katanya tak lagi menangis saat teringat “cintanya”. Berfikir tentang waktu, tentang diriku yang mungkin tak selamanya bisa menjawab setiap pertannyaanya. Ia pasti sudah lebih kuat sekarang, karena bagaimanapun juga disekitarnya masih banyak orang yang menyayanginya dan mampu memberikanya jawaban atas apa yang ia tanyakan, mungkin lebih baik dari jawaban yang bisa aku beri. Apa lagi aku hanyalah “ilusi” dan “maya”. Aku ini tak ada.


Waktu bergulir makin cepat sekarang, tapi tidak baginya. Terlalu lama, terlalu lama, jika ia harus selalu sendiri dan menangis sendiri tanpa ada seseorang yang bisa ia pinjam bahunya guna melepaskan lelah dari tangisnya itu. Kadang ingin sekali saja kudengar kalau ada seseorang yang datang di setiap malam minggunya, mengajaknya keluar dan berkeliling menikmati udara malam Jogja. Dia senang, dia amat senang dengan apa yang ia rasakan malam itu, dan kemudian ia bercerita kepadaku betapa bahagianya ia. Itulah yang masih kutunggu hingga saat ini, namun belumlah datang. Bukan telah sangat enggan mendengar semua ceritanya, namun aku ingin ia bisa bercerita tentang mimpi-mimpinya dengan lebih nyata, bukan denganku karena aku ini tak ada. Sudah saatnya ia mampu berkata dan bercerita kepada yang “nyata” tentang tempat-tempat yang membuatnya senang, malam yang seperti apa yang menurutnya indah, dan berapa anak yang ia inginkan saat telah menikah kelak. Kayanya 3 anak cukup. Wkwkwkwkw.


Jika ada yang berkata kepadaku setelah membaca ini “Sok baik sekali!!”. Hahaha, lebih baik sok baik dari pada sok jahat. Jika ada hal yang pasti untuk kurasakan, mungkin aku akan cemburu mendengarnya tak lagi sendiri. Tapi bukankah hidup itu berisi kecemburuan-kecemburuan, jadi jika akhirnya aku merasa cemburu bukankah itu wajar. Hahaha.


Dan jika ada hal yang sangat kuinginkan sebelum melihatnya sebagai sesuatu yang tak bisa kusentuh. Sekali saja aku ingin melihatnya, melihat pipinya yang begitu bulat seperti bakpao. Sekali saja aku ingin melihatnya, tak harus ia melihatku pula. Aku hanya ingin memastikan jika ia memang benar ada, jika ialah yang selalu memanggilku “papiQ”. Hahaha.


Jika ada gambaran sederhana tentang aku dan semua yang pernah melewatinya. Jika kugambarkan sebagai sebuah perjalanan dimana awalnya adalah tempat ia tumbuh besar sampai pada tempat yang menurutnya menyenangkan. Mungkin seperti ini. (tapi karena keterbatasan data, jadi mungkin agak kaku).


Ø Dia diantarkan “seseorang” yang ia percaya dari rumahnya menuju SMA’y, dan sesampainya disana perjalanan itu pun berhenti.

Ø Dari SMA’y kemudian ada yang mengantarnya sampai ke kampus megah UGM. Namun berhenti di perempatan Mirota. Kenapa harus berhenti disitu? Lah, bukannya kampus anak Rekam Medis ada di dekat perempatan itu?

Ø Dan dalam kebingungnya tanpa disengaja ia menemukan sebuah “peta”, sebuah peta yang hanya berisi tulisan dan tak ada gambar sama sekali, terlebih lagi sebuah sentuhan yang terasa dekat. Dan peta tersebut menuntunnya sampai kampus tercintaku UII. Dan akan kembali berhenti di Boulevard kampusku itu.

Ø Bagian terakhirnya, ia mungkin akan bertemu dengan seseorang lagi, dan seseorang itu mengajaknya berjalan lebih keatas. Kearah Merapi. Bukan untuk bersemedi. Hanya untuk mengajaknya duduk-duduk diatas batu-batu besar sisa letusan 2006 kemarin, disebuah tempat yang sunyi, disalah satu kaki gunung disana. Dan seseorang itu akan menemaninya melihat bintang-bintang dengan ribuan kilauannya yang menakjubkan, sebuah sungai langit yang begitu memesonakan. Ya, sebuah pemandangan yang indah di malamnya yang tak lagi mendung, karena ia tak lagi menangis, karena ia yang saat itu bisa kembali tersenyum dan tertawa. Ia telah kembali bahagia.


Hahahaha, mungkin ini gambaran yang terlalu aneh, tapi aku menyukai potongan-potongan itu, walau tak terlalu terlihat bermutu, tapi aku menyukainya, itu saja. ^_^


Sekian saja ceritaku, khawatir kalau dia membacanya malah bikin ‘mewe’ lagi. Mungkin dia memang terlalu sentimentil, tapi begitulah temanku itu. Mungkin Tuhan merancang dirinya seperti itu, dan pasti tak ada yang percuma dari apa yang Tuhan ciptakan padanya. Pasti ada arti dari kesentimentilan dan kemelodramatisan yang ada padanya, terlepas dari dirinya yang memang orang Indonesia tulen dan orang Jawa yang kemayu. Hahaha.

Sekian saja dan terima kasih banyak sudah membaca…………^_^

Tidak ada komentar: