Minggu, 28 Juni 2009

Tak Lengkap

Dongeng yang Tak Lengkap.


Dalam yang tak pernah diam, penggalan-penggalan itu kian bergerak cepat. Bagai kilatan petir dikala hujan yang lebat dan di waktu yang sunyi. Dan tentu saja sunyi karena tak ada seorang pun yang enggan bermain dengan rinai yang lebat, terlebih lagi sepaket dengan petir. Itu seperti mega maut yang gelap dan tak seorang pun mencari mati, “berakhir” itu kehilangan. Semuanya. Inilah hidup.


Semua telah berubah, dan entah apa yang sebenarnya ingin kutulis. Karena beberapa hari ini pikiranku makin pengap. Tapi kemarin setelah membaca tulisan disalah satu blog temenku yang berjudul “kenapa cinta harus dibuang?”. Ya, tulisan yang bagus, menggambarkan sebuah teori kalau tidak semua yang kita inginkan itu sejalan dengan kenyataan yang mungkin datang. Kehilangan itu pasti, maka doa yang tepat bagi kita yang terbatas dalam memiliki, “perpisahan itu pasti, namun aku berdoa jika masa itu masihlah lama datangnya”. Itu kalimat yang temanku ucapkan kepada seseorang yang ia sayangi, dan benar perpisahan itu datang, mungkin yang menyakitkan adalah jika ternyata datangnya lebih cepat dari yang dibayangkan. “Cinta itu memiliki??”, namun sayang hidup tak semerdu suaranya Gita Gutawa dalam lagu “Sempurna”. Jadi kehilangan itu pasti.


Saat kita sakit karena cinta, kita merasa itulah akhir dunia atau cinta yang dulu tak lagi layak untuk diingat, namun terkadang ada juga yang tetap mengingatnya walau sebenarnya telah selesai lama. Dan kadang tanpa kita sadari saat sebuah cinta baru datang, kita merasa takut, kita takut kalau sekali lagi kecewa, terluka dan hampa. Namun bukankah hidup memang kadang mengecewakan, lalu kenapa kita takut memeluk cinta yang datang padahal mungkin cinta itulah yang telah lama kita tunggu? Menyesal itu lebih menyakitkan, lebih menyakitkan dari cinta yang patah. Karena tak ada yang bisa disyukuri.


Ada cerita tentang seorang teman, dia itu teman baikku. Dahulu ia pernah dikecewakan oleh seseorang yang ia sayangi. Cintanya berakhir saat sang perempuan memilih meninggalkannya dan menikah dengan orang yang mungkin baru beberapa bulan ia kenal. Dan cinta temanku yang telah ia perjuangkan selama beberapa tahun kandas tanpa arti. Perempuan itu pergi meninggalkan trauma yang mendalam. Dan temanku hanya bisa diam dengan pertunjukan itu.


Waktu berselang, hingga datang masa dimana ia merasa jatuh cinta lagi. Ia bahagia dengan cintanya, namun luka masa lalu itu membatasi dirinya dalam hal memberi. Bukan tentang barang, tetapi perhatian yang terkadang hanya setengah jalan. Namun cinta itu pun berakhir sekali lagi, cinta jarak jauh sekali lagi. Ternyata memang susah di pertahankan.


Temanku bercerita jika ia menyesal dengan perpisannya yang kali ini, ia merasa kecewa dengan apa yang tak bisa ia beri. “perempuan itu baik, perhatian sekali, namun karena keegoisanku tak ada yang bisa kuberi padanya, itulah yang paling kusesali sekarang”. Itulah kalimat yang tertinggal, dan ia tak bisa melakukan apa-apa karena memang tak ada lagi, namun jika ada yang bisa ia doakan untuk yang terkasihnya itu “semoga ia bahagia kelak”.


Namun mungkin benar setiap rasa sakit meninggalkan trauma tersendiri, halus namun kita tahu jika trauma itu sedang duduk manis semeja dengan kita sambil meminum secangkir teh. Ia sedang menanti, ia menungu kita merasakan rasa sayang, dan kala kita benar merasakan cinta sekali lagi trauma itu beranjak dari tempat duduknya dan sangat aggresif membisikan kata “hilang” dan “menghilang”. Ya, kata trauma itu pun pernah temanku ucap kala ia merasakan perasaan yang sama seperti yang ia rasakan pada kekasihnya yang lalu. Sepertinya trauma senang sekali bermain dengan orang yang pernah kehilangan.


Beberapa minggu yang lalu, aku menerima sebuah pesan pendek yang tak menyebutkan nama. Sebuah percakapan panjang yang kukira buah dari keisengan seorang teman yang sedang membalas keisenganku padanya dulu. Beberapa hari berlalu, ku coba membaca pesan-pesan pendek itu sekali lagi, dan ternyata kukenal dengan seseorang ini. Untuk memastikan siapa yang mengirim ini, coba kutanyakan pada seorang teman apakah ia yang memiliki nomer telephon itu, dan ia menjawab tidak. Ya, kemungkinan yang mengirimnya adalah dia, dia yang dulu selalu bisa tersenyum lembut, mungkin tanpa merasa berdosa atau bersalah. Namun tetap saja yang ia lakukan padaku itu menyakitkan. “Mudah saja bagimu untuk menyebut semuanya adalah pilihanmu yang keliru, persetan dengan itu, yang pasti selamanya takan pernah mudah untuk kumengerti, karena sakit dan sangat menyakitkan”, sebuah kalimat yang diam karena memang sakit untuk diingat kembali. Jadi mungkin aku pun masih berbalut trauma yang sama seperti temanku. Namun sepertinya traumaku lebih halus dari yang lainya, mungkin ia bersembunyi di dalam selimut di tempat tidurku.


Itulah singkat cerita tentang cinta yang sepertinya berakhir berbeda dari yang di harapkan. Dan karena itu perasaan takut akan kehilangan sekali lagi menjadi sesuatu yang wajar bagi mereka yang pernah pertemu dengan ”perpisahan”. Mungkin sebenarnya bukanlah cinta itu yang membuat kita takut untuk mencintai namun perasaan ingin memiliki selamanya yang kadang cenderung menjadi egois, dan saat ego itu terluka maka tanpa sadar kita menghakimi jika cinta memang sakit.


Jadi sebenarnya kenapa kita selalu takut untuk mencoba jika cinta itu datang sekali lagi? Banyak orang diluar sana yang begitu kesepian menanti cintanya untuk datang, namun ternyata tak juga datang. Maklum aku mengenal orang-orang itu dan aku sendiri sedang berperan menjadi salah satu tokoh yang bernasib seperti itu, menanti tapi tak pernah bergerak. Jadi sama saja, mungkin datangnya pun jadi setengah-setengah.


Oh cinta, maaf jika memang egois..

Namun aku ingin bahagia, terlepas dari kewajiban untuk membahagiakan.

Tidak ada komentar: