Jumat, 19 Juni 2009

teman

Cerita Lama Tentang Teman-Teman Lama


Bulan Januari kemarin akhirnya ketua ekstra kami semasa SMA melepaskan masa lajangnya. Yap, dia menikahi gadis yang ternyata anak teman orang tuanya. Alhamdulillah ternyata ketuaku ini masih lumayan laku di lingkungan kaum hawa.


Kami, anak-anak sebuah ekstra angkatan ke 13. Menurut itung-itungn primbonya para Paranormal angka 13 itu termasuk angka yang kurang baik, dan entah karena kami memang sangat tersugesti pendapat itu maka selama tiga tahun menyandang angka itu. bisa di bilang tak selancar dan semulus kain sutra asli Cina. Terlalu banyak intrik sesama kami, dan yang terlampau parah itu para “tetua” ekstra tersebut yang rasanya sangat kurang bersahabat dengan kami. Karena sangat tidak enaknya menyandang angka tersebut, seorang teman mengusulkan mengganti nama angkatan kami menjadi 12B.


Waktu baru tergabung dalam angkatan 13, semuanya masih terasa baik, karena bagaimanapun juga kami masihlah anak-anak polos yang baru lulus SMP. Jadi cles ataupun sejenisnya tidaklah terlalu terasa, tapi kalau bicara tentang latihan rutin baris berbaris dan pengetahuan teori tentang Bendera ada beberapa dari kami yang masuk kategori “tukang kabur”. Kategori ini dimiliki empat anak laki-laki dari kelas 1.3 yang memang sudah di black list oleh kami sendiri dan terutama oleh senior kelas 2. Sedangkan yang lainnya termasuk orang-orang yang taat aturan, terlebih lagi pak Lurah kami yang memang terajin diantara yang paling rajin. Dan aku hanya pengekor yang baik dimana aku termasuk kategori yang rajin, rajin di push up, skot jump, dan tidak ketinggalan juga sentuhan mesra dari tangan senior kami.


Anak-anak ekstra angkatan kami bisa di bilang lumayan mencolok. Selain karena rambut kami yang jarang sekali panjang dan cenderung cepak, juga karena beberapa dari kami memiliki tinggi badan di atas 170 cm. Karena itu kami lumayan menjadi pemandangan yang mencolok saat sedang berjalan bersama.


Kisah kami bisa masuk ekstra ini lebih banyak karena ketidaktahuan atau asal ikutan. Atau kalau pun ada yang memang berjiwa untuk ikut ekstra ini sangatlah sedikit. Mungkin yang paling lucu nasibnya Andri temanku dari jaman TK dulu. Awalnya ia terdaftar di ekstra ”Coklat”, namun karena tidak tahu di ruang mana anak-anak ”Coklat” berkumpul maka dengan sangat sadar atau linglung dia ikut denganku yang terdafatar di ekstra ”Bendera”. Dan hasilnya dia menjadi wakil ketua kami sampai kami lulus dari SMA. Mungkin itulah pilihan yang paling Andri sesali waktu itu, tapi sekarang dia tahu jika di ekstra itu dia menemukan teman-teman yang lebih mirip saudara.


Selama kami masih menjadi kelas 1, beberapa dari kami ada yang mulai tidak kuat dan akhirnya mengundurkan diri dari ekstra tersebut, tak banyak namun cukup untuk membuat nayliku dan beberapa teman lainnya batal keluar dari ektra tersebut. Sentuhan mesra dari tangan senior dan juga sesama rekan adalah pemandangan yang cukup untuk membuat nyali kami turun drastis. Padahal kalau kami keluar penderitaan kami hanya sebatas hari itu saja, dan tidak berkelanjutan selama beberapa bulan atau beberapa tahun kedepan. Itulah pikiran yang baru kami sadari setelah cukup lama menjadi lulusan ekstra tersebut.


Angkatan kami ini termasuk angkatan yang bisa disebut aneh, saat ada seleksi untuk menjadi pengibar tingkat kabupaten tak ada satu pun dari kami yang sangat iklas untuk mengikutinya, malah beberapa dari kami menghindari seleksi itu. Entah dogma dari mana yang membuat kami mundur perlahan. Mungkin bukan karena dogma atau sejenisnya kami mundur perlahan, itu hanyalah buah dari kemalasan kami saja yang tidak terlalu berminat dengan ritual yang lebih resmi. Singkatnya lagi kami memang pemalas. Cerita tentang kemalasan kami bisa juga di temui saat ada rekruitmen anggota OSIS sekolah, tak ada satupun dari kami menawarkan diri untuk mengisi pos-pos yang masih kosong. Sampai-sampai senior diatas kami mencari kami satu per satu guna menanyakan adakah yang berminat untuk mengisi pos tersebut.? Dan akhirnya memang ada, walau dengan sedikit paksaan dari senior kami.


Setelah kami menjadi pengurus, yaitu saat kami dinyatakan bisa naik kelas 2 masalah berdatangan bak air bah. Pertama adanya genk-genk’an diantara para pengurus yang itu mengganggu stabilitas kepengurusan, hingga tanpa sadar itu merusak hampir semua acara yang akan kami laksanakan sebagai seorang pengurus. Dan yang kedua adanya campur tangan dari pihak “para jenderal“ diatas kami yang dengan sadar ataupun tidak membuat suasana kepengurusan kami lebih runyam dari sebelumnya. Namun ada yang paling kami syukuri adalah kami memiliki penerus yang bisa di katakan nurut semua. Terutama si kumis yang walau terlihat sangar dengan kumisnya tetap saja setia dengan apapun perintah kami.


Selama kami menjadi pengurus hal terberat yang terjadi adalah ketidakharmonisan kami dengan para “tetua“ ekstra ini, bisa di katakan kalau kami bertemu bisa langsung perang. Sebenarnya entah karena apa bisa terjadi ketidakharmonisan yang sudah berkadar “Merah“, namun kata seorang rekan, hal tersebut terjadi karena mereka terlalu merendahkan kami dan terlalu mencampuri urusan eksternal maupun internal kami. Kekacauan terbesar antara kami dan mereka itu terjadi pada acara Pelantikan golonganya Si kumis dan juga serah terima jabatan saat kami sudah menjadi anak kelas 3. kekacauan itu lumayan besar, sampai-sampai pembina ekstra kami tidak bisa melakukan apa-apa. Dan rasanya dendam di antara kami masih di bawa sampai sekarang. Namun prinsip kami tak akan memulai keributan, karena pasti kalah di kantor Polisi.


Berita tentang betapa nekatnya angkatan kami ternyata terdengar sampai angkatan sekarang. Mungkin sebenarnya kami telah di black list oleh angkatan-angkatan sebelum kami dan kalau ada angkatan di bawah kami yang ikut-ikutan memblack list juga bisa kami jawab “masa bodoh“. Dan tentang orang-orang nekat di angkatan kami hanyalah beberapa saja, yang lainya hanyalah pengikut setia paham “Solidarisme“, karena bagaimanapun juga beberapa dari kami juga merasa tersiksa. Dan aku salah satu pengikut paham tersebut, bukan mencari aman, hanya menyiapkan diri sebagai bala bantuan. Ah, pembenaran sekali lagi dari sebuah kepengecutan.


Namun apakah selama kami mengikuti ekstra tersebut semuanya hanya berisi penderitaan? Tidak juga, karena bagaimanapun juga kami pernah merasa bahagia, tertawa bersama dan lain sebagainya yang membuat kami merasa senang dengan apa yang ada di sana. Misalnya kebiasaan kami menginap di SMA yang seperti tuna wiswa, tidur yang hanya beralaskan apa yang bisa di gunakan sebagai alas. Dan tidak ketinggalan mengambil singkong di kebun sebelah sekolah untuk di jadikan cemilan tengah malam kami. Atau yang paling sering kami lakukan adalah mengerjai angkatan di bawah kami, terutama kalau ada yang sedang berulang tahun. Maklum budaya seperti ini sudah biasa dan turun temurun dari angkatan yang paling tua. Tapi karena acara ini terlalu sering kami adakan, lama-lama gerombolannya si kumis sudah bisa menebak, apalagi kalo akting kami ga bener atau diluar skrip. Sekali aku ikutan nimbrung di “Sinetron“ dadakan ini, dan hasilnya gagal total. Aku dan ketuaku ketahuan tertawa karena tidak bisa menahan betapa lucunya ekspresi orang-orang yang sedang ketakutan. Yang pasti bakat akting memang penting walau hanya untuk sandiwara singkat.


Dan setelah kami menyerahkan tapuk kepengurusan kepada gerombolannya si kumis, di mana yang menjadi ketua itu si Muhaimin. Kami jarang berkumpul lagi, mungkin kami baru merasa lega setelah beberapa tahun hidup dalam tekanan yang rasanya lumayan tidak enak. Kami semua baru berkumpul lagi (semuanya) saat kami di undang acara Diklat anak kelas 1. Hari itu seumur-umur baru pertama kali kulihat tak ada satu orang pun yang kurang, kontras sekali dengan keadaan kami selama menjadi pengurus.


Hari-hari berjalan mulai cepat, hingga tanpa sadar kelulusan kami makin dekat. Dan kami memilih jalan kami masing masing. Ada yang langsung bekerja, ada yang berencana melanjutkan kuliah, dan ada juga yang mendaftarkan diri menjadi anggota Polisi dan Alhamdulillah masuk.


Setelah kami lulus jarang sekali kami bertemu, mungkin setahun sekali saat lebaran saja. Biasanya kami berkumpul di rumahnya Ian, maklum itu bascamp kami semasa SMA. Namun sayang jika pun berkumpul hanya sedikit orang yang datang, ketua kami Si Dade mulai sibuk setelah menjadi Polisi, sedangkan si Angki yang juga wakil ketua kami jarang terdengar kabarnya apakah masih hidup atau sudah tujuh harian. Sedangkan kabar tentang pak lurah kami yaitu si Milik simpang siur tak jelas, hingga kami mendengar berita kalau ia telah masuk menjadi Akabri. Jadi yang biasa berkumpul hanyalah orang-orang yang sama, aku dan Andri yang kebetulan memang sedang libur, kadang di tambah si Dedi yang baru pulang dari Jakarta.


Selama aku kuliah di Jogja hanya Andri yang sering aku lihat, maklum kami satu kost selama di Jogja dan juga kami satu tempat kuliah, hanya beda Fakultas. Aku bertemu lagi dengan si Dade setelah hampir 4 tahun tidak bertemu, kami bisa bertemu pun saat kami di undang pada acara Diklat ekstra di SMA kami. Sedangkan si Milik, aku bertatap muka denganya setelah 4 tahun lewat di rumahnya Andri. Sedangkan si Angki entah kapan aku bertemu denganya.? Ah, aku lupa.


Kalau ada bahasan yang paling membuat iri saat aku dan Andri berbincang tentang teman-teman ekstra kami ini adalah si Ian. Jodohnya ini anak bagus sekali dan mungkin tanpa praduga sama sekali. Sesekalinya dia menyukai perempuan, dan Alhamdulillah perempuannya merespon balik, eh tau-tau mereka nikah. Bahasa orang irinya, ”hebat banget jodohnya itu anak, ga perlu pake acara patah hati segala“. Yah itulah obrolanku dengan Andri, maklum nasib kami tidak semulus teman kami itu. Dan setelah dengar-dengar tentang teman kami yang lain, ternyata nasib si Dade tak jauh beda dengan kami, perlu patah hati terlebih dahulu sebelum akhirnya ia menikah sekarang.


Oy ada sedikit tambahan untuk ceritanya si Dade ketua kami itu. Ceritanya ia baru sekali bertemu dengan istrinya sekarang sebelum akhirnya mereka jadian (lewat sms). Dan untuk membuktikan keseriusanya kepada bakal calon istrinya itu ia menemui istrinya yang masih kuliah di Jogja, tepatnya di UAD yang ada di daerah Glagasari. Dia menghubungi Andri waktu akan ke Jogja, kami kira dia ada tugas dari kantor jadi ia sempatkan diri untuk main ke kost kami. Dan ternyata ia membawa seorang perempuan waktu main ke kost kami. Aku dan Andri hanya geleng-geleng penuh heran. Ternyata ia ke Jogja demi sang belahan hati. Dade mengajak kami untuk piknik ke Prambanan, disinilah ke nestapaanku terjadi. Andri dan Dade berboncengan dengan “bojo“ mereka, sedangkan aku hanya sendirian dengan motor baruku, jok belakangku sepi. Makan Ati tepatnya, sayangnya disana tak ku jumpai orang yang sedang berjualan teh botol Sossro.


Satu bulan kemudian Dade kembali mengunjungi bakal calon istrinya, dan hari itu tugasku yang menjemputnya dari stasiun Tugu yang kemudian kuantar sampai ke kost bakal calon istrinya. Waktu sampai disana aku hanya duduk diam, maklum kost’an perempuan agak bikin deg-deg’an. Dade mengajakku jalan-jalan menikmati udara malam Jogja, dari jalan Malioboro sampai ke Alun-alun Selatan. Dan tentu saja dia semotor dengan Rina yang kemudian menjadi istrinya yang sekarang. Sedangkan aku? Dengan sangat baik ada seseorang yang mau ikut juga dengan kami, lupa namanya. Sekian saja cerita babak ke dua si Dade singgah di Jogja, karena terusanya aib yang memalukan. Cukup aku, Dade, Rina dan seorang yang entah lupa namanya.


Dan sialnya aib yang memalukan itu masih Dade ingat dengan jelas, parahnya lagi ia ceritan pemandangan yang memalukan itu ke teman-teman ekstra kami saat resepsi nikahanya dan juga saat ada acara Pelantikan ekstra di SMA kami belum lama ini. Sial bener ini bocah.


Setelah banyak dari kami telah menikah, bahasannya sekarang kapan kami yang masih setia ngejomblo ini menyusul rekan-rekan itu? Hanya Tuhan yang tahu, maklum kami masih mencari apa yang ingin kami capai, tapi bukan berarti kami tak memiliki target tentang hal itu sama sekali. Kata seorang teman “jodoh itu ga bakalan kemana-mana, tapi kalo ga kemana-mana jodoh ga bakalan dateng-dateng“. Masuk akal, tapi biar air mengalir dulu, maklum perahunya belum jadi, terlebih lagi tak bisa berenang.


Tapi saat membahas hal seperti ini dengan Andri, jarang sekali kami serius, lebih banyak saling menyindir satu sama lain. Namun sering ku katakan pada Andri kapan dia nyusul si Dade?, Maklum ketua kami sudah menikah, masa wakil ketuanya belum jelas kapan menikahnya, kan dirasa kurang etis kalau seksi logistik ngelangkahi wakil ketua?. Setiap kami membahas itu selalu saja tertawa. Kata Andri dia sedang mencari orangnya terlebih dahulu dan orangnya itu benar yakin mau dinikahi, intinya tak mau sekali lagi blunder. Jadi kami hanya berfikir apa yang bisa kami nikmati sekarang, maka nikmatilah. Mumpung ada. Tentang jodoh, Entahlah.


Sekarang hampir memasuki masa sepuluh tahun dari pertemuan kami yang pertama. Entah sedang apa semua mereka? Yang pasti kebanyakan dari kami telah berumah tangga, dan malah ada yang sudah memiliki anak. Ponakanku banyak sekali kayanya. Mereka semua, tempat dimana aku merasa bisa tertawa. Mereka yang lebih mirip saudara dari pada seorang teman. Itulah mereka orang-orang hebat yang sempat singgah di hidupku.

Rasanya cukup tulisanku yang ini. Tak semua detail aku ceritakan karena memang tak semuanya layak untuk diceritakan. Sekian saja, dan terima kasih sudah enggan untuk membaca.. ^_^


Dan tentang para perempuan di angkatan 13 ini, 95 persen sudah menikah dan mereka semua entah sedang ada dimana. Aku tak tahu karena aku telah kehilangan kontak dengan mereka semua. Kecuali bu Lurah kami yang rasanya masih setia dengan kesendiriannya juga.

Tidak ada komentar: