Minggu, 28 Juni 2009

Senja

Cerita Pendek Tentang Senja


Kisah ini, yang telah lewat bertahun yang lalu. Lama dan harusnya mudah untuk dilupakan, tapi untukku tetaplah sama, tak berubah dan memang berbeda karena ini sebuah cerita tentang cinta. Namun harus kuakui jika semuanya tak mungkin lagi terulang, semuanya telah terkikis waktu hingga menjadi samar adalah yang wajar. Semuanya menjadi yang tak ada sekarang, tentangnya yang dulu adalah warna berbeda yang hadir di langit soreku. Dia, satu diantara jajaran keindahan yang Tuhan hamparkan pada dunia yang terbatas, menggariskan penggalan senyuman yang selalu terhadir pendek pada dinding-dinding waktu yang sunyi, seperti pendeknya senja yang menawan dengan warna dan rona merahnya. Sangat indah, dan aku pernah berharap tentang itu.


Biasa kutulis dan jabarkan tentangnya yang tak ada lagi, karena telah lalu dan mulai buram dalam ingatan:


Suara itu, semakin asing sekarang..

Aneh, itulah yang kupikirkan..

Saat semuanya menjadi sebiasa ini..

Tak ada langkah atau pun senyuman..

Yang mungkin tertuang sekarang..


Dia tak lagi ada, tak lagi ada untuk setia kutunggu didepan pintu rumah itu. Ya memang tak ada, terlebih lagi apa yang pernah terjalani selama tiga bulan itu telah lama selesai. Jikapun melihatnya hanyalah kebetulan-kebetulan yang singkat, malah lebih singkat dari gerak detik di jam tanganku. Tik.


Sore itu, di mana ia ada, dimana ia berjalan menyusuri jalan kecil yang telah rapi. Dia yang sesekali tersenyum dan tertawa saat bermain dengan anak-anak dusun yang pulang dari belajar mengaji. Ah, ia sangat menawan seperti seorang perempuan yang telah matang dengan emosi manusianya. Bermain dan bercanda, bagai seorang ibu yang begitu mengerti arti menyenangkan yang kecil. Dia yang ada, dan berjalan menyusuri senjaku yang terbatas, kemudian hilang dan lenyap saat suara deru motornya meninggalkan halaman rumah itu.


Namun ia pun tak selalu ada di antara senja yang kujalani dirumah itu, karena sebuah jadwal atau sebuah kesibukan yang berbeda. Seperti dua bait sajakku tentangnya ketika ia tak hadir dalam senjaku:


Semilir angin nan lembut namun sunyi..

Tak ada lagi nyanyian burung dikala senja..


Semuanya terasa kosong saat ia tak ada. Sunyi, bagaikan sunyinya suasana perkabungan yang menyedihkan. Tak ada pinta karena dalam perkabungan hanya ada diam. Yang ada hanyalah perasaan kosong akan seseorang yang terasa pernah mengisi namun tak ada lagi. Suara burung-burung kecil yang biasa hinggap di atas ranting pohon Mangga terasa hilang, walau mungkin sebenarnya mereka sempat bersuara, hanya saja hatiku selalu saja kaku karena tak adanya ia yang datang dan berkata dengan suaranya yang terkadang tak sungguh merdu ”Assalamualaikum


Kadang sangat sadar jika apa yang pernah ada kala itu tak mungkin kembali dan tiap detiknya bisa kunikmati dengan lebih puas, namun ada yang terasa kaku setiap kuingat tentangnya. Mungkin inilah yang masih saja datang untuk kutanyakan dalam hati. Bertanya tentang ingatan yang telah lampau itu, karena dalam hatiku ada sepenggal harap jika ada diantara ramainya ingatanya tentang dunia, ada secuil tentangku yang pernah hadir sesaat di dunianya. Walau kuharus sadar dan sangat sadar jika di tanah asing yang terhampar di sebelah timur Jogjakarta itu, ada penggalan hati yang mengharapkanya pula, seorang teman yang lebih berani untuk bergerak. Mungkin kalau di sajakkan akan berbunyi seperti ini:


Tidakkah engkau mampu mengingatnya..?

Disanalah engkau selalu kutunggu untuk datang..

Kurindu, karena kurindu maka aku selalu berdiri didepan pintu itu..

Tak peduli, kadang..

Jika seorang temanku menunggumu pula dengan cemas..

Disalah satu ruang dirumah itu..


Semua telah lewat, telah lewat lama dari yang pernah terjalani. Senja atau apapun namanya tetaplah sebuah kesunyian yang masih terasa aneh, seperti ketika aku hanya bisa memandanginya dari kejauhan atau menatapnya penuh kagum dari sebuah jendela yang berkaca kusam. Senjaku yang berisi kata diam, dan aku hanya bisa melantunkan semuanya pada sebuah prosa yang gersang.


Dia yang menawan dengan keindahan yang hanya bisa terjabarkan saat kata “indah” itu menemukan ujungnya. Ah, ingin sekali kulihat ia lagi, bukan hanya lewat foto-foto masa lalu yang masih kusimpan di komputerku.


Selain sajak-sajak yang terasa gersang itu, seorang adik pernah memberiku sebuah tulisan yang membuatku tersenyum karena didalam ceritanya sungguh benar ada aku. Bukan karena kebetulan kalau isinya memang sesuai sekali dengan ceritaku tentang perempuan itu, maklum beberapa hari sebelumnya kami pernah berbincang tentang ia. Inilah sajaknya, dan aku menyukainya terlebih lagi dengan kalimat-kalimat hiperbolisnya yang selalu membuatku tertawa..


Sajak

Secangkir teh akan terasa lebih manis jika diminum bersama dirimu dalam satu gelas ditambah rasa cinta dan sayang,

Sebutir nasi akan terasa mengenyangkan jika, nasi itu dimakan bersamamu teriring do’a yang tulus dan ikhlas

Sajadah tempat ku bersujud akan terasa lebih khusyu dan tenang, ketika jiwa kita menyatu dan mengahadap sang Ilahi dalam satu kehalalan, saat dirimu ada dibelakangku untuk selamanya dalam ibadah yang paling sakral,

Sang Ilahi tau sebesar apa cintaku dan niatku untuk slalu ada disisimu, tapi, lagi2 ketika raga bertatap, mata mulai menjatuhkan lagi satu pandangan yang mengikat jiwa, dan senyumnya mengikat seluruh ruang kosong, hanya kegugupan yang hadir disela keringat dingin yang terus mengalir…

Ingin ku katakan aku cinta kamu,
Aku sayang kamu,
Aku rindu kamu,
Layaknya kaum2 yang sedang asik menjalani masa perkenalan mereka,
Tapi… untuk ku coba mengatakan hal itu, bukan sulit, tapi… akh, entah apa itu, aku tak mengerti…


Itulah ia, seseorang yang berakhir dalam baris sajak dan kebodohanku yang kaku. Selesai. Dan jika dideretkan dalam kalimat, maka akan berbunyi seperti puisi yang sempat kukirimkan pada sebuah stasiun radio yang ada di Jogja, namun entah sempat terbacakan atau tidak.?!


Lelaki Bodoh

Aku hanya tersenyum menatapmu, kala itu..
Memandangi engkau yg dulu slalu kutunggu..
Jam 3 sore, di depan pintu, di rumah itu..
Di sudut timur Jogja, tempat KKN kita dulu..

Hari itu semuanya putih,.
Kerudung dan semua yg engkau kenakan,.
Tahukah engkau jika itu cukup membisukanku..?
Terperangah kaku dan beku..
Hingga bahasaku berubah lirih..
Saat sadarku mulai berkata..
" Esok engkau menjadi yg terlewatkan, Untukku"..

Jalan yg panjang itu pun kan berakhir untuk kulalui..
Sudah, seperti selesainya 9 menit 47 detik yg lalu..
Tak ada kata rindu, walau sangat merindu..
'Cinta', ahh, aku tak mengerti kata itu..


Selesai dan Tamat.

Tidak ada komentar: